Tulisan 6 Akutansi Internasional (Plus-Minus Redenominasi)


Plus-Minus Redenominasi

Rabu, 30 Januari 2013 | 14:24 WIB

Sebenarnya, redenominasi rupiah—yaitu penyederhanaan satuan rupiah dengan cara menghilangkan tiga angka nol—bukanlah kebijakan yang berurgensi tinggi.
Dalam kondisi sekarang, ketika rupiah ”terbebani” banyak angka nol pun, perekonomian Indonesia masih tumbuh 6,3 persen, inflasi 4,3 persen, suku bunga acuan 5,75 persen, kredit bank berekspansi 23 persen, serta cadangan devisa 112 miliar dollar AS. Memang masih ada berbagai masalah, misalnya fiskal (APBN) yang terbebani subsidi energi Rp 306 triliun, defisit neraca perdagangan 1,5 miliar dollar AS, dan defisit transaksi berjalan 20 miliar dollar AS. Namun, secara keseluruhan, perekonomian Indonesia terhitung ”baik-baik saja”. Karena itu, redenominasi tidak mendesak.
Dua cara
Namun, jika harus memilih, apakah rupiah dibiarkan seperti sekarang atau diredenominasi, saya memilih rupiah yang lebih sedikit mengandung angka nol. Lebih mudah menuliskannya, hemat pencatatan secara akuntansi, serta lebih gampang mengonversikannya ke dalam mata uang asing. Berdasarkan pengalaman, ketika berbincang dengan orang asing, saya sering kesulitan mengonversikan bilangan bertriliun-triliun rupiah menjadi satuan dollar AS, euro, atau yen.
Meski dalam nada canda, saya cukup risih apabila ada kawan asing mengatakan, ”Untuk menjadi jutawan di Indonesia ternyata tidak sulit.” Ia benar, karena uang jutaan rupiah bisa dikantongi atau ditenteng ke mana-mana. Padahal, di luar negeri, jutawan adalah frase yang merujuk orang kaya. Namun, di Indonesia, memiliki uang jutaan rupiah tidak berarti kaya. Orang kaya adalah para miliarder atau bahkan triliuner.
Dengan pengalaman pergaulan internasional seperti itu, kadang tebersit pikiran, kapan kurs rupiah menjadi sederhana, misalnya 1 dollar AS ekuivalen Rp 10 atau bahkan Rp 1? Bisakah dan kapan itu bisa dilakukan?
Ada dua cara. Pertama, kita terus memperbaiki kinerja perekonomian, antara lain memperbesar surplus perdagangan, surplus transaksi berjalan, dan menarik banyak modal asing sehingga berujung penguatan cadangan devisa. Bila ini dilakukan berkelanjutan, rupiah pun akan menguat melalui mekanisme pasar.
Masalahnya, berapa lama itu bisa kita lakukan? Apakah menunggu sampai cadangan devisa menembus 1 triliun dollar AS, atau bahkan seperti China yang kini cadangan devisanya hampir 3,3 triliun AS? Pasti makan waktu amat panjang.
Cara kedua, redenominasi, yakni ”memaksa” penghapusan beberapa nol (sesuai kebutuhan dan kelayakan) sehingga kurs rupiah lebih ramping. Melakukan ini tentu tak bisa sembarangan. Namun, jelas jauh lebih ringan daripada harus memupuk cadangan devisa hingga 1 triliun dollar AS.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, memang tak pernah ada negara yang mirip Indonesia yang melakukannya sehingga tak mudah mengadopsinya begitu saja. Umumnya negara yang pernah melakukannya adalah negara yang relatif kecil, baik dari ukuran ekonomi, jumlah penduduk, maupun luas dan persebaran wilayah. Contoh kisah sukses adalah Turki dan beberapa negara Amerika Latin.
Ada argumentasi bahwa umumnya negara yang melakukan redenominasi adalah mereka yang bermasalah dengan inflasi tinggi, bahkan hiperinflasi (inflasi di atas 50 persen per bulan), seperti dialami Argentina (1980-an), Brasil (1980-an dan 1990-an), Zimbabwe (2010). Sementara di Indonesia inflasi sekarang justru rendah (4,3 persen). Menurut saya, kedua kondisi ini tak bertolak belakang.
Bagi negara yang inflasinya tinggi, masalah yang dihadapi adalah lemahnya mata uang, misalnya Turki mengalami 1 dollar AS ekuivalen 1,6 juta lira (1994), sedangkan bagi Indonesia, meski inflasi rendah, kurs rupiah lemah dengan beban angka nol banyak. Di Asia Tenggara, hanya mata uang Vietnam (dong) yang lebih lemah daripada rupiah, yakni 1 dollar AS ekuivalen 20.000 dong.
Jadi, negara yang inflasinya besar ataupun kecil bisa saja melakukan redenominasi, sejauh punya kepentingan sama: ingin menyederhanakan tampilan angka nol pada mata uangnya.
Inflasi kita kini memang rendah, tetapi jangan lupa, kita pernah menderita inflasi besar, 78 persen (saat krisis 1998) dan 17 persen (saat harga BBM naik 2005). Akibatnya, rupiah dari Rp 2.000 per dollar AS (1996) pernah merosot jadi Rp 17.000 (Januari 1998) dan kini Rp 9.700 per dollar AS.
Empat persoalan besar
Kita menyadari, redenominasi tidaklah bisa digulirkan dengan mudah. Setidaknya ada empat persoalan besar. Pertama, sosialisasi harus dilakukan secara luas dan memakan waktu lama. Ketika mata uang euro dilahirkan 1999, zona euro (17 negara) butuh waktu transisi sekitar lima tahun. Dalam kasus Indonesia, ”medan”-nya tentu lebih sulit karena faktor level pendapatan, pendidikan, dan geografis. Bisa dibayangkan masa transisi yang kita perlukan bakal lebih panjang.
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menetapkan masa transisi (2013-2015), penarikan rupiah lama (2016-2018), dan penggunaan rupiah baru (2019-2022). Saya sarankan, bila perlu, digeser menjadi lama. Lebih baik agak lama, tetapi aman, daripada tergopoh-gopoh, tetapi menimbulkan gejolak.
Kedua, kebijakan redenominasi baru akan efektif jika mendapat dukungan penuh para pemangku kepentingan. Saat ini saya mencium gelagat dukungan yang kurang kuat dari Komite Ekonomi Nasional (KEN).
BI dan Kemkeu harus lebih dulu ”memegang” KEN, juga dunia usaha, perguruan tinggi, dan lapisan masyarakat lain agar redenominasi berjalan efektif. Presiden, wakil presiden, dan jajaran kabinet juga harus dikerahkan untuk mendukung upaya ini. Tanpa dukungan kehendak kuat dari para pemangku kepentingan, jadwal redenominasi bisa lebih panjang lagi.
Ketiga, seperti sudah banyak diingatkan, redenominasi rawan inflasi. Bisa diduga akan selalu ada pengusaha nakal yang tak disiplin mengonversikan harga lama ke harga baru. Misalnya harga lama Rp 220.000 dikonversikan ke harga baru Rp 25, padahal mestinya Rp 22.
Gubernur BI Darmin Nasution menyatakan ada semacam ”operasi pasar” untuk menertibkannya. Di luar itu, menurut saya, mengedukasi penjual dan pembeli yang dilakukan dengan masa transisi yang cukup akan menjadi kunci sukses. Saya masih yakin hal ini bisa ”diamankan”.
Keempat, bisa-tidaknya redenominasi dijalankan tergantung kredibilitas dan kinerja perekonomian Indonesia. Jika pemerintah dan BI gagal mengendalikan variabel ekonomi makro utama, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, suku bunga, APBN yang sehat dan berkelanjutan, redenominasi bakal terancam.
Ekspresi para pelaku ekonomi terhadap rendahnya kredibilitas bisa ditunjukkan dengan memindah kekayaannya ke mata uang asing, alias terjadi pemborongan valuta asing. Selanjutnya, jika cadangan devisa merosot, rupiah pun akan terdepresiasi. Jadi, kuncinya adalah bagaimana pemerintah meningkatkan kinerja perekonomian. Jika ini terjadi dan kemudian disertai penambahan cadangan devisa secara berkelanjutan, bisa menjadi jaminan keberhasilan redenominasi.
Kebijakan redenominasi, dengan syarat-syarat di atas, tetap layak dilakukan, tentunya dengan menempuh perjuangan yang tidak ringan. Pemerintah dan BI, selamat bekerja mengawal proses panjang ini. Tiada kata jera dalam perjuangan. (A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, UGM)


Opini :
Menurut saya dari artikel di atas, redenominasi merupakan langkah yang baik karena faktanya bilangan nol dalam  rupiah sudah terlalu banyak. Belum lagi, pendapatan setiap tahunnya akan selalu bertambah dan pastinya akan berdampak pada jumlah nol untuk rupiah. Ini perlu diatasi dengan redenominasia agar ke depannya, para pengguna uang tidak merasa sulit menghitung jumlah uangnya. Redenominasi hanya menghilangkan tiga angka nol, tidak akan sulit dalam pelaksanaannya. Inilah tugasnya, bank Indonesia serta pemerintah untuk memberi pengarahan terhadap masyarakat di seluruh Indonesia. Bank Indonesia juga harus mewaspadai dan menjaga agar redenominasi tidak menimbulkan dampak yang merugikan dengan adanya inflasi. BI harus dapat mengatasi agar berjalan lancar sesuai dengan koridor dan aturan yang berlaku. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar