Pilih Sistem Pembayaran Online yang
Aman!
Kamis, 11 Oktober 2012 |
17:57 PM
KOMPAS.com - Belanja online
saat ini sudah semakin menjadi bagian dari gaya hidup orang Indonesia. Meskipun
berbelanja ke toko biasa, entah itu di mal atau di pasar tradisional, masih
menjadi sarana untuk berekreasi, toko online juga diminati karena menyediakan
pengalaman belanja yang unik. Salah satunya, karena menghemat waktu dan tenaga.
Meski begitu, kebiasaan
belanja online masih belum sepenuhnya memasyarakat. Hal ini disebabkan faktor
keamanannya yang masih dipertanyakan. Tak sedikit konsumen yang mengaku ditipu.
Yang paling sering terjadi, pembayaran sudah dilakukan namun barang pesanan
tidak dikirimkan. Kemudian, konsumen juga khawatir akan menjadi korban fraud
atau penyalahgunaan kartu kredit yang terjadi melalui pencurian data pribadi si
pemilik kartu.
Tidak heran, studi E-commerce
Consumer Monitor tahun 2010 dari Visa melaporkan bahwa 8 dari 10 orang
Indonesia yang gemar belanja online masih mengutamakan faktor keamanan saat
berbelanja online.
"Karena berbagai
pengalaman buruk tersebut, pembelanja Indonesia menginginkan lebih banyak
jaminan saat berbelanja online," papar Steve Marta, General Manager AKKI
(Asosiasi Kartu Kredit Indonesia), saat bincang-bincang di kantor Visa, The
Plaza Tower, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Studi yang sama
mengungkapkan, pembelanja Indonesia menginginkan adanya sistem pengamanan dan
jaminan yang "berlapis". Mereka bersedia melakukan transaksi secara
online apabila toko yang mereka tuju menerapkan metode pembayaran yang aman (50
persen), memberikan jaminan dari bank (49 persen), dan tentunya jaminan dari
perusahaan penerbit kartu kredit (48 persen).
Ellyana Fuad, Presiden
Direktur PT Visa Worldwide Indonesia, turut menegaskan pentingnya meningkatkan
kesadaran konsumen akan keamanan dalam transaksi online. “Dengan menyediakan jaminan keamanan yang terbaik akan
tercipta rasa aman bagi konsumen, serta memberikan kepercayaan dalam proses
jual beli online,”
jelasnya.
Pada dasarnya, ada tiga
lapisan pengamanan dalam mekanisme pembayaran online yang ditawarkan Visa,
yaitu:
1. Verified by Visa (VbV)
VbV merupakan metode
autentikasi pemegang kartu dengan menggunakan password ketika melakukan
transaksi online. Cara kerjanya adalah dengan memasukkan password pribadi
ketika Anda melakukan pembayaran dengan kartu Visa secara online. Sistem ini
sama seperti ketika Anda diminta memberikan PIN atau tanda tangan ketika
berbelanja.
"Saat akan melakukan
transaksi, Anda akan diberi One-Time-Passcode atau OTP. OTP ini untuk
membuktikan bahwa yang melakukan transaksi memang si pemilik kartu,"
tambah Steve. OTP dikirimkan oleh bank penerbit kartu Visa melalui SMS atau
token OTP, dan password tersebut harus Anda masukkan saat melakukan transaksi.
Dengan cara ini, Anda tak perlu repot mengingat password tertentu.
Selanjutnya, sistem Visa akan
memverifikasi identitas Anda kepada merchant, dan meyakinkan Anda sebagai
pemegang kartu bahwa data Anda diproses secara aman. Setiap pemegang kartu
diminta untuk mendaftarkan layanan VbV ke bank penerbit kartu Visa mereka.
2. Tiga digit kode pengaman
Disebut dengan kode CVV2,
tiga digit kode ini tertera di belakang kartu Visa, tepat bersebelahan dengan
tanda tangan Anda. Kode ini menunjukkan pada merchants bahwa kartu Anda
benar-benar bersama Anda ketika sedang melakukan transaksi online atau melalui
telepon.
Ketika Anda memberikan kode
CVV2 kepada merchant, informasi tersebut disampaikan secara otomatis kepada
bank penerbit kartu untuk proses verifikasi dan autorisasi. Jika sesorang
menggunakan kartu Visa Anda tapi tidak dapat memberikan tiga digit kode
pengaman, atau jika kode pengaman yang diberikan salah, merchant akan langsung
membatalkan transaksi. Namun untuk keperluan keamanan, merchant dilarang keras
menyimpan kode pengaman tersebut.
3. Real Time Fraud Monitoring
Sistem pengamanan tidak
berhenti begitu saja setelah transaksi berhasil dilakukan. Ada mekanisme yang
telah disiapkan untuk mengantisipasi terjadinya fraud, baik yang dilaporkan
oleh pemegang kartu kredit maupun yang tertangkap oleh sistem monitoring Visa.
Jaringan data Visa telah menyimpan ribuan contoh transaksi pembelian yang sah
dari para pemilik kartu kredit, sehingga kejadian-kejadian yang di luar
kebiasaan akan diketahui. Selanjutnya, bank penerbit kartu kredit akan menahan
sementara biaya-biaya yang mencurigakan. Kemudian bersama Visa, bank akan
melakukan konfirmasi sesegera mungkin pada pemilik kartu kredit untuk
memverifikasi biaya-biaya tersebut.
Opini saya untuk kasus di atas :
Dengan sifat masyarakat Indonesia
yang cenderung konsumtif dan dengan mobilitas kegiatan yang sibuk, pembayaran
online memang saat ini lebih digunakan mayoritas untuk kalangan menengah ke
atas. Harusnya dengan cara berfikir masyarakat yang memiliki bobot lebih tinggi
dari kalangan minoritas, dapat memilah sistem pembayaran dengan baik sehingga diminimalisir
fraud yang mungkin timbul dari transaksi pembayaran yang dilakukan. Dengan tiga
lapisan pembayaran yang ditawarkan visa, sudah bagus agar fraud diminimalisir
walaupun tidak menjadi zero fraud. Didukung juga dengan hukum-hukum yang kuat berlaku
di Indonesia, agar semuanya menjadi lebih terkendali.
Mengkhawatirkan, Kolusi Pegawai Bank dan
Nasabah
Kamis, 26 April 2012 | 07:09
WIB
Kolusi antara pegawai bank dan nasabah sebagai modus terjadinya fraud
atau penipuan di bank menjadi perhatian utama bankir. Penipuan identitas dan
transfer dana menjadi perhatian berikutnya.Hasil survei PT PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia itu dipaparkan Ashley Wood dari Divisi Perbankan PwC, Rabu (25/4/2012), di Jakarta. Sekitar 100 bankir senior dari Indonesia menjadi responden survei tersebut.
Sebanyak 29 persen responden mengkhawatirkan kolusi antara pegawai dan nasabah. Berikutnya adalah penipuan identitas (19 persen responden), penipuan transfer (18 persen responden), serta penipuan elektronic banking yang mencakup kartu kredit, kartu debit, dan prabayar (15 persen responden).
"Setiap orang harus benar-benar memahami risiko penipuan, lalu melakukan langkah yang diperlukan untuk mengurangi risiko penipuan," kata Wood.
Wood mengungkapkan, 39 persen responden memprediksi, penipuan di sektor perbankan akan turun tahun ini. Jumlah responden yang optimistis ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya 27 persen, bahkan jauh bertambah daripada tahun 2010 yang hanya 22 persen responden.
Opini saya untuk kasus di atas :
Memang tidak dapat dipungkiri lagi, kolusi
adalah salah satu masalah yang menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah kita. Apalagi
di dunia perbankan, yang menggiurkan ini. Fraud pasti akan terjadi, dan tidak
mungkin menjadi zero fraud. Saya setuju
dengan kutipan Wood yang berkata “Setiap orang harus benar-benar memahami
risiko penipuan, lalu melakukan langkah yang diperlukan untuk mengurangi risiko
penipuan”. Karena dengan itulah kita bersama-sama dapat mengurangi, mengatasi dan
menangani permasalahan tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar