Tulisan 8 Akutansi Internasional ( Jaga Harga Emas Tak Turun, 3 Bank Sentral Dunia Siaga )


Posted: 05/05/2013 14:32

Liputan6.com, New York : Selama sepekan ini, sebagian pasar emas kembali berkonsolidasi setelah sebelumnya terus menerus turun. Ini tak terlepas dari kebijakan moneter yang dilakukan tiga bank sentral terbesar di dunia, yakni Bank Sentral Jepang, Federal Reserve Amerika Serikat (The Fed) dan Bank Sentral Eropa. 

Seperti dilansir dalam laman Kitco, Minggu (5/5/2013), The Fed setelah pertemuan pekan ini telah merilis sebuah pernyataan bahwa pihaknya akan melakukan upaya kebijakan maksimal apabila diperlukan. 

Harga emas dunia pada penutupan Jumat (3/5/2013) ada di level 1470.70 per ounce.

"Pada akhir pertemuan (Selasa-Rabu) antara Federal Open Market Committee, mereka tidak melakukan perubahan kebijakan utama, tapi hanya perubahan minim," terang analis Nomura. 

Nomura menyoroti tiga pengambilan keputusan penting. Beberapa ekonom memperkirakan dampak terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) AS akan turun 1,5% dari pertumbuhan ekonomi tahun ini. Di mana untuk pertumbuhan ekonomi sekitar 2,0% merupakan masalah besar. 

Faktor lain, kata dia, potensi untuk perubahan paling signifikan, yakni The Fed siap untuk menambah atau mengurangi laju pembelian demi mempertahankan kebijakan yang tepat sebagai estimasi bagi pasar tenaga kerja dan perubahan inflasi. 

Akhirnya, di tengah kabar inflasi AS yang mulai membaik, The Fed mencatat kebijakan baru.

Pada Maret ini, indeks harga konsumen turun 0,1% sedangkan harga konsumen inti tidak berubah. Namun dari tahun ke tahun, harga konsumen inti sebesar 1,1% berada di bawah sasaran inflasi The Fed sekitar 1,5%-2%. 

"Komite memilih terus menekan inflasi sebagai upaya dari laju pembelian aset," ujar Nomura. Banyak pengamat percaya, The Fed akan melanjutkan langkah pembelian aset sepanjang tahun ini. 

Bank Sentral Eropa, pada pekan terakhir ini, memangkas 25 poin dari 0,75% menjadi 0,5% seperti yang diharapkan sebagian besar oleh pasar.

Namun, Presiden Bank Sentral Eropa Mario Draghi terus membuka pintu untuk 'menyunat' suku bunga sebagai bagian dari kebijakan moneter tambahan apabila dibutuhkan, bahkan kemungkinan untuk fasilitas deposito. 

Sementara itu, Bank Sentral Jepang telah membentangkan kebijakan moneter yang luar biasa ke depan. Itu artinya ketiga bank sentral tersebut masih menetapkan kebijakan moneter yang sama, seperti kebijakan mencetak uang, pelonggaran kuantitatif, dan sebagainya. 

Di sisi lain, harga emas untuk saat ini berhenti bereaksi atas kebijakan moneter dunia yang sedang berlangsung. Begitupula dengan nilai mata uang yang tidak akan berubah dalam waktu dekat akibat melambatnya pertumbuhan negara maju karena mengalami resesi. 

Sedangkan di negara-negara berkembang terus menunjukkan prospek pertumbuhan lebih cerah dan kuat ke depan. Pembelian fisik emas mencatatkan penurunan harga tertinggi dalam beberapa pekan terakhir. 

Selama April ini, penjualan koin emas oleh U.S Mint melonjak menjadi 209.500 ounces dari 62.000 ounces di Maret 2013.

Jika kondisi ini masih terus berlangsung pada harga emas, diharapkan permintaan fisik emas dapat meningkat. Dengan sebagian besar kontribusi negara berkembang terhadap PDB dunia, maka penting bagi negara tersebut untuk mengalami pertumbuhan penjualan emas. 

Opini :
Seperti tidak dipungkiri lagi, emas memang investasi yang paling menguntungkan tahan terhadap j kondisi perekonomiannya sedang mengalami inflasi. Untuk itu, sikap ketiga bank Dunia tersebut untuk tetap menjaga harga emas, merupakan hal yang tepat. Karena kebijakan ketiga Bank Dunia tersebut masih sama seperti sebelumnya, maka nilai mata uang tidak akan berubah dalam waktu dekat akibat melambatnya pertumbuhan negara maju karena mengalami resesi. Dengan penurunan harga tertinggi untuk emas, negara-negara berkembang terus menunjukkan prospek pertumbuhan lebih cerah dan kuat ke depan. Semoga kondisi ini masih terus berlangsung pada harga emas, diharapkan permintaan fisik emas dapat meningkat. Seperti yang dijelaskan pada artikel di atas, hal tersebut sangat baik untuk kontribusi negara berkembang terhadap PDB dunia dengan pertumbuhan penjualan emas.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tulisan 7 Akutansi Internasional ( LAPORAN KEUANGAN Standar Terbaru Siap Diadopsi )


LAPORAN KEUANGAN Standar Terbaru Siap Diadopsi

Rabu, 06 Maret 2013, 19:53 WIB

BISNIS.COM, JAKARTA--Lembaga keuangan di Indonesia dituntut segera bersiap menerapkan standar pelaporan keuangan internasional (International Financial Reporting Standard/IFRS) versi terbaru.
Dewan Standar Akutansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) sedianya mengadopsi lima standar laporan keuangan dan tiga standar interpretasi baru.

Langkah ini dilakukan setelah adopsi IFRS 2009 dinilai berhasil.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad menilai penerapan IFRS di Indonesia suatu keniscayaan.

"Mengadopsi prinsip itu akan memudahkan institusi keuangan kita ketika situasi Indonesia bisa terefleksi dari laporan keuangan yang berlaku global," ujarnya di seminar IFRS 2013, Rabu (6/3/2013).

Keterbukaan informasi dan transparansi, lanjut dia, menarik investor. Meski demikian penerapan standar laporan keuangan terbaru perlu tahapan agar industri tidak kaget.

Terlebih OJK menyimpulkan pemahaman pelaku pasar terhadap IFRS 2009 perlu ditingkatkan. Sehingga perubahan standar pengakuan, pengukuran dan pencatatan tak menimbulkan keresahan pasar.

"Kesiapan notaris, aktuaris, penilai dan akuntan publik harus ditingkatkan," tegasnya dalam acara yang diselenggarakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang dihadiri pimpinan lembaga Standar Akuntan Internasional (International Accounting Standard) dan Federasi Akuntan se-Asean (Asean Federation of Accountant).

Adapun lima standar yang akan diadopsi Indonesia yakni IFRS 10 Consolidated Financial Statement, IFRS 11 Joint Arrangement, IFRS 12 Disclosure of Interest in Other Entities, IFRS 13 Fair Value Measurement.

Sedangkan tiga standar interpretasi baru yang hendak diadopsi di antaranya International Financial Reporting Interpretations Committe (IFRICS) 18 Transfer of Assets From Customers dan IFRICS 19 Extinguishing Financial Liabilities with Equity.

Aucky Pratama Setya Dharma, Plt Direktur Teknis Ikatan Akuntan Indonesia, mengatakan ada sejumlah akibat pokok dari penerapan IFRS terbaru. Meski demikian perubahan itu hanya soal teknis di pelaporan keuangan tapi tidak berdampak di performa perusahaan.

Indonesia telah mengadopsi IFRS 2009 dan dinilai berhasil. Oleh kerena itu, Dewan Standar Akutansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) mengadopsi versi IFRS lanjutan.

Opini :
Dengan mengadopsi lima standar laporan keuangan dan tiga standar interpretasi baru, diharapkan membawa Indonesia dapat terefleksi dari laporan keuangan yang berlaku global. Dan perlu lebih pemahaman terhadap IFRS oleh pelaku pasar. Agar perubahan standar pengakuan, pengukuran dan pencatatan tidak akan berdampak pada keresahan pasar. Walaupun dengan penerapan IFRS terbaru akan ada perubahan , namun tidak akan berdampak pada performa perusahaan. Dan tidak akan berpengaruh terhadap berkurangnya investor. Justru hal ini, menambah nilai lebih dalam standar pelaporan keuangan suatu perusahaan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tulisan 6 Akutansi Internasional (Plus-Minus Redenominasi)


Plus-Minus Redenominasi

Rabu, 30 Januari 2013 | 14:24 WIB

Sebenarnya, redenominasi rupiah—yaitu penyederhanaan satuan rupiah dengan cara menghilangkan tiga angka nol—bukanlah kebijakan yang berurgensi tinggi.
Dalam kondisi sekarang, ketika rupiah ”terbebani” banyak angka nol pun, perekonomian Indonesia masih tumbuh 6,3 persen, inflasi 4,3 persen, suku bunga acuan 5,75 persen, kredit bank berekspansi 23 persen, serta cadangan devisa 112 miliar dollar AS. Memang masih ada berbagai masalah, misalnya fiskal (APBN) yang terbebani subsidi energi Rp 306 triliun, defisit neraca perdagangan 1,5 miliar dollar AS, dan defisit transaksi berjalan 20 miliar dollar AS. Namun, secara keseluruhan, perekonomian Indonesia terhitung ”baik-baik saja”. Karena itu, redenominasi tidak mendesak.
Dua cara
Namun, jika harus memilih, apakah rupiah dibiarkan seperti sekarang atau diredenominasi, saya memilih rupiah yang lebih sedikit mengandung angka nol. Lebih mudah menuliskannya, hemat pencatatan secara akuntansi, serta lebih gampang mengonversikannya ke dalam mata uang asing. Berdasarkan pengalaman, ketika berbincang dengan orang asing, saya sering kesulitan mengonversikan bilangan bertriliun-triliun rupiah menjadi satuan dollar AS, euro, atau yen.
Meski dalam nada canda, saya cukup risih apabila ada kawan asing mengatakan, ”Untuk menjadi jutawan di Indonesia ternyata tidak sulit.” Ia benar, karena uang jutaan rupiah bisa dikantongi atau ditenteng ke mana-mana. Padahal, di luar negeri, jutawan adalah frase yang merujuk orang kaya. Namun, di Indonesia, memiliki uang jutaan rupiah tidak berarti kaya. Orang kaya adalah para miliarder atau bahkan triliuner.
Dengan pengalaman pergaulan internasional seperti itu, kadang tebersit pikiran, kapan kurs rupiah menjadi sederhana, misalnya 1 dollar AS ekuivalen Rp 10 atau bahkan Rp 1? Bisakah dan kapan itu bisa dilakukan?
Ada dua cara. Pertama, kita terus memperbaiki kinerja perekonomian, antara lain memperbesar surplus perdagangan, surplus transaksi berjalan, dan menarik banyak modal asing sehingga berujung penguatan cadangan devisa. Bila ini dilakukan berkelanjutan, rupiah pun akan menguat melalui mekanisme pasar.
Masalahnya, berapa lama itu bisa kita lakukan? Apakah menunggu sampai cadangan devisa menembus 1 triliun dollar AS, atau bahkan seperti China yang kini cadangan devisanya hampir 3,3 triliun AS? Pasti makan waktu amat panjang.
Cara kedua, redenominasi, yakni ”memaksa” penghapusan beberapa nol (sesuai kebutuhan dan kelayakan) sehingga kurs rupiah lebih ramping. Melakukan ini tentu tak bisa sembarangan. Namun, jelas jauh lebih ringan daripada harus memupuk cadangan devisa hingga 1 triliun dollar AS.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, memang tak pernah ada negara yang mirip Indonesia yang melakukannya sehingga tak mudah mengadopsinya begitu saja. Umumnya negara yang pernah melakukannya adalah negara yang relatif kecil, baik dari ukuran ekonomi, jumlah penduduk, maupun luas dan persebaran wilayah. Contoh kisah sukses adalah Turki dan beberapa negara Amerika Latin.
Ada argumentasi bahwa umumnya negara yang melakukan redenominasi adalah mereka yang bermasalah dengan inflasi tinggi, bahkan hiperinflasi (inflasi di atas 50 persen per bulan), seperti dialami Argentina (1980-an), Brasil (1980-an dan 1990-an), Zimbabwe (2010). Sementara di Indonesia inflasi sekarang justru rendah (4,3 persen). Menurut saya, kedua kondisi ini tak bertolak belakang.
Bagi negara yang inflasinya tinggi, masalah yang dihadapi adalah lemahnya mata uang, misalnya Turki mengalami 1 dollar AS ekuivalen 1,6 juta lira (1994), sedangkan bagi Indonesia, meski inflasi rendah, kurs rupiah lemah dengan beban angka nol banyak. Di Asia Tenggara, hanya mata uang Vietnam (dong) yang lebih lemah daripada rupiah, yakni 1 dollar AS ekuivalen 20.000 dong.
Jadi, negara yang inflasinya besar ataupun kecil bisa saja melakukan redenominasi, sejauh punya kepentingan sama: ingin menyederhanakan tampilan angka nol pada mata uangnya.
Inflasi kita kini memang rendah, tetapi jangan lupa, kita pernah menderita inflasi besar, 78 persen (saat krisis 1998) dan 17 persen (saat harga BBM naik 2005). Akibatnya, rupiah dari Rp 2.000 per dollar AS (1996) pernah merosot jadi Rp 17.000 (Januari 1998) dan kini Rp 9.700 per dollar AS.
Empat persoalan besar
Kita menyadari, redenominasi tidaklah bisa digulirkan dengan mudah. Setidaknya ada empat persoalan besar. Pertama, sosialisasi harus dilakukan secara luas dan memakan waktu lama. Ketika mata uang euro dilahirkan 1999, zona euro (17 negara) butuh waktu transisi sekitar lima tahun. Dalam kasus Indonesia, ”medan”-nya tentu lebih sulit karena faktor level pendapatan, pendidikan, dan geografis. Bisa dibayangkan masa transisi yang kita perlukan bakal lebih panjang.
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menetapkan masa transisi (2013-2015), penarikan rupiah lama (2016-2018), dan penggunaan rupiah baru (2019-2022). Saya sarankan, bila perlu, digeser menjadi lama. Lebih baik agak lama, tetapi aman, daripada tergopoh-gopoh, tetapi menimbulkan gejolak.
Kedua, kebijakan redenominasi baru akan efektif jika mendapat dukungan penuh para pemangku kepentingan. Saat ini saya mencium gelagat dukungan yang kurang kuat dari Komite Ekonomi Nasional (KEN).
BI dan Kemkeu harus lebih dulu ”memegang” KEN, juga dunia usaha, perguruan tinggi, dan lapisan masyarakat lain agar redenominasi berjalan efektif. Presiden, wakil presiden, dan jajaran kabinet juga harus dikerahkan untuk mendukung upaya ini. Tanpa dukungan kehendak kuat dari para pemangku kepentingan, jadwal redenominasi bisa lebih panjang lagi.
Ketiga, seperti sudah banyak diingatkan, redenominasi rawan inflasi. Bisa diduga akan selalu ada pengusaha nakal yang tak disiplin mengonversikan harga lama ke harga baru. Misalnya harga lama Rp 220.000 dikonversikan ke harga baru Rp 25, padahal mestinya Rp 22.
Gubernur BI Darmin Nasution menyatakan ada semacam ”operasi pasar” untuk menertibkannya. Di luar itu, menurut saya, mengedukasi penjual dan pembeli yang dilakukan dengan masa transisi yang cukup akan menjadi kunci sukses. Saya masih yakin hal ini bisa ”diamankan”.
Keempat, bisa-tidaknya redenominasi dijalankan tergantung kredibilitas dan kinerja perekonomian Indonesia. Jika pemerintah dan BI gagal mengendalikan variabel ekonomi makro utama, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, suku bunga, APBN yang sehat dan berkelanjutan, redenominasi bakal terancam.
Ekspresi para pelaku ekonomi terhadap rendahnya kredibilitas bisa ditunjukkan dengan memindah kekayaannya ke mata uang asing, alias terjadi pemborongan valuta asing. Selanjutnya, jika cadangan devisa merosot, rupiah pun akan terdepresiasi. Jadi, kuncinya adalah bagaimana pemerintah meningkatkan kinerja perekonomian. Jika ini terjadi dan kemudian disertai penambahan cadangan devisa secara berkelanjutan, bisa menjadi jaminan keberhasilan redenominasi.
Kebijakan redenominasi, dengan syarat-syarat di atas, tetap layak dilakukan, tentunya dengan menempuh perjuangan yang tidak ringan. Pemerintah dan BI, selamat bekerja mengawal proses panjang ini. Tiada kata jera dalam perjuangan. (A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, UGM)


Opini :
Menurut saya dari artikel di atas, redenominasi merupakan langkah yang baik karena faktanya bilangan nol dalam  rupiah sudah terlalu banyak. Belum lagi, pendapatan setiap tahunnya akan selalu bertambah dan pastinya akan berdampak pada jumlah nol untuk rupiah. Ini perlu diatasi dengan redenominasia agar ke depannya, para pengguna uang tidak merasa sulit menghitung jumlah uangnya. Redenominasi hanya menghilangkan tiga angka nol, tidak akan sulit dalam pelaksanaannya. Inilah tugasnya, bank Indonesia serta pemerintah untuk memberi pengarahan terhadap masyarakat di seluruh Indonesia. Bank Indonesia juga harus mewaspadai dan menjaga agar redenominasi tidak menimbulkan dampak yang merugikan dengan adanya inflasi. BI harus dapat mengatasi agar berjalan lancar sesuai dengan koridor dan aturan yang berlaku. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tulisan 5 Akutansi Internasional (Laba Turun 40%, Rugi Kurs Gerogoti Pendapatan PLN 2012)



oleh Syahid Latif
Posted :13/04/2013

Liputan6.com, Jakarta : PT PLN (Persero) melaporkan pendapatan usaha perusahaan sepanjang 2012 mengalami kenaikan sekitar 12% dari sebelumnya Rp 208 triliun menjadi Rp 232,7 triliun. Kenaikan pendapatan tersebut dipicu penambahan jumlah pelanggan sebanyak 3.900.104 dan meningkatnya volume penjualan sebesar 4.892 Gigawatt Hour (GHw).

Tumbuhnya pendapatan perusahaan sayangnya tak diimbangi dengan perolehan laba bersih yang justru menurun. PLN mencatat laba bersih perusahaan pada 2012 anjlok Rp 2,2 triliun dari sebelumnya Rp 5,4 triliun menjadi Rp 3,2 triliun.

Sementara dibandingkan dua tahun sebelumnya, laba bersih perusahaan pada 2012 hanya sekitar 31,68% dari perolehan Rp 10,1 triliun pada 2010.

Kinerja keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terungkap dari keterangan tertulis laporan keuangan perusahaan yang diperoleh Liputan6.com, Sabtu (13/4/2013).

PLN melaporkan penurunan laba bersih perusahaan sepanjang 2012 terutama dipicu oleh meningkatkan rugi selisih kurs sebesar Rp 4,1 triliun dari Rp 1,8 triliun pada 2011 menjadi Rp 5,9 triliun pada 2012. Kerugian ini berasal dari translasi liabilitas perusahaan dalam mata uang asing, dimana tahun ini terjadi pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika (USD) meskipun disisi lain terjadi penguatan terhadap yen Jepang (JPY).

Penurunan laba bersih juga disebabkan transaksi non-cash sehingga tidak berpengaruh terhadap EBITDA perusahaan yang mengalami kenaikan sebesar 26,1%.

Peningkatan rugi kurs perusahaan sebesar Rp 4,1 triliun terdiri dari peningkatan rugi kurs Rp 8,0 triliun atas pinjaman-pinjaman yang mayoritas dalam mata uang dollar Amerika Serikat. Utang itu antara lain utang sewa pembiayaan atas penerapan ISAK 8 sebesar 45%, utang obligasi internasional sebesar 32%, utang bank sebesar 17%, dan liabilitas moneter lainnya (net off asset) sebesar 6%.

Namun disisi lain, perusahaan mampu meraih laba kurs sebesar Rp 3,9 triliun atas utang sewa pembiayaan PLTU Tanjung Jati B dan utang penerusan pinjaman yang mayoritas dalam mata uang yen Jepang.

Besarnya rugi kurs perusahaan ini menutup berbagai upaya penekanan biaya administrasi dan umum yang hanya naik 1,8%. Sementara kenaikan biaya kepegawaian hanya sebesar 1%.

"Kenaikan biaya administrasi dan kepegawaian juga di bawah angka laju inflasi. Hal ini menunjukan bahwa di tataran biaya yang dapat dikontrol secara langsung, PLN dapat mengendalikan dengan baik," ujar laporan tersebut. (Shd)




Opini :
            Dari permasalahan yang dihadapi PLN, dapat dilihat dari kinerja keuangannya dari sisi laba bersih perusahaan yang cenderung menurun dari tahun sebelumnya. Padahal seharusnya jika pendapatan naik yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah pelanggan namun laba bersihnya tidak mengikuti bertambahnya jumlah pendapatan. Ini disebabkan karena meningkatnya rugi selisih kurs dari translasi liabilitas mata uang asing. Untungnya pihak PLN masih dapat mengatasi dan menutupi kerugian tersebut dan dampak yang timbul. Kembali lagi pada kewajiban Bank Indonesia untuk mengatasi melemahnya dollar Amerika, dapat dengan melakukan intervensi besar. Agar perusahaan-perusahaan tidak mengalami yang signifikan dari permasalahan tersebut.

Pembuktian jumlah laba dari aktikel di atas ,dilihat dari laporan keuangan(2012 – 2011) :
Tahun 2012 : 3205.524, sedangkan tahun 2011 : 5426.115

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS